Monday, November 24, 2008

Fidel Castro dan revolusi Kuba

DI MASA pra-revolusi, penyair radikal Carlos Puebla menulis sebuah lagu:
Los caminos de mi Cuba
Nunca van a donde deben.
Jalan-jalan Kubaku
Tak pernah menuju ke arah yang benar.

Sebagian besar jutaan rakyat Kuba dan para simpatisan Castro di seluruh dunia pasti merasa begitu, melihat krisis yang dihadapi pulau tropis ini sejak runtuhnya Uni Soviet pada awal tahun 1990-an. Kuba mendapati diri terkepung, rakyatnya harus hidup melarat, dan ekonominya terpaksa membuka diri terhadap pasaran internasional yang sebelumnya mau ditentang oleh pemimpin utamanya, Fidel Castro.
Biang keladi semua kesulitan ini adalah imperialisme Amerika Serikat, yang penasaran melihat sebuah negeri kecil menantang dominasinya. Sejak tahun 1959, sembilan presiden AS telah berusaha meremukkan rezim Castro. Setelah gagalnya invasi di Teluk Babi yang disponsori CIA pada tahun 1961, AS menjalankan boikot ekonomi. Kuba bisa bertahan dengan bantuan Soviet sampai negara Soviet itu ambruk di zaman Gorbachev. Tetapi di dasawarsa 1990-an keadaan Kuba menjadi cukup parah.
Kewajiban utama kaum kiri adalah solidaritas dengan Kuba melawan imperialisme. Namun kita bisa membela Kuba secara lebih efektif, jika kita mempelajari pengalaman revolusi di negeri ini dengan saksama dan kritis.
Fidel Castro, Che Guevara dan para gerilyawan bisa merebut kekuasaan pada tahun 1959 karena kediktatoran Batista ambruk secara kurang-lebih spontan, sehingga terjadi sebuah kevakuuman politik. "Kaum berewok" (barbudos) mengambil alih kekuasaan dengan menyangkal bahwa mereka orang kiri atau komunis. "Revolusi kita bukan berwarna merah melainkan hijau buah zaitun," kata Castro merujuk ke rona seragam para gerilyawan, dan dia mengutuk "komunisme dengan konsep-konsepnya yang totalitarian". Dalam sebuah pidato di universitas Princeton di AS Castro menegaskan bahwa "Bertentangan dengan pola Revolusi Rusia dan model Marxis, revolusi di Kuba tidak berdasarkan perjuangan kelas … revolusi ini juga tidak berniat meniadakan kepemilikan swasta."
Castro memang telah bercanda, "Coba aku Stalin, aku mau jadi komunis", namun karya-karyanya sebelum tahun 1960an tidak memuat argumentasi atau kosa kata Marxis. Waktu mereka merebut kekuasaan, para "brewok" memang hanya sekelompok aktivis demokratik. Tetapi reform liberal-demokratik tidak gampang di hadapan kekuataan Amerika.
Ketika Castro menjalankan beberapa reform agraria yang agak moderat pada tahun 1969, bantuan finansial Amerika segera dihentikan. Setahun kemudian, ketika Uni Soviet menawarkan minyak mentah, perusahaan minyak barat seperti Texaco, Shell dan Esso menolak membersihkannya. Castro menasionalisi fasilitas mereka. AS melarang impor gula dari Kuba, Kuba membalas dengan mengambil alih lebih banyak perusahaan AS, kemudian AS menjalankan boikot total terhadap perdagangan Kuba termasuk makanan dan obat-obatan, dan juga berusaha menumbangkan Kastro dengan invasi di Teluk Babi.
Kuba harus menghadapi sebuah pilihan yang dihadapi oleh setiap revolusi. Apakah kaum revolusioner akan berusaha meluaskan revolusi ke negeri-negeri lain, supaya kaum imperialis bisa dikalahkan, atau kaum revolusioner akan berupaya untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi, sosial dan politik dalam perbatasan satu negeri saja.
Mula-mula Castro dan terutama Che Guevara tampaknya condong ke alternatif yang pertama, tetapi akibat-akibat orientasi internasionalis ini tidak pernah dipahami mereka dengan akurat. Panggilan Che untuk menciptakan "banyak Vietnam" melupakan hal yang paling utama: hanya kelas buruh sedunia mampu untuk membangun dan mempertahankan sebuah gerakan internasional revolusioner (contohnya Internasional Komunis muda tahun 1919-23). Che berorientasi ke pedesaan dan aksi-aksi gerilya, namum gerakan-gerakan tani belum pernah dalam sejarah mencapai tingkat internasional. Che sendiri gugur secara tragis dalam upaya ini.
Kaum pimpinan Kuba lainnya tidak pernah berusaha secara serius untuk membangun sebuah gerakan internasional, melainkan cukup awal sudah memilih alternatif yang nampaknya lebih aman, yaitu membangun "sosialisme dalam satu negeri" dengan bantuan Soviet.
****
Kita sudah melihat: tekanan imperialis yang mendorong Castro untuk menasionalisasi industri-industri, dan tekanan imperialis pula yang menyebabkan dia mencari sekutu dalam blok Soviet. Sebenarnya Kuba diperlakukan tidak adil dalam blok tersebut. Carlos Tablada, seorang penasihat Castro, mengakui pada tahun 1991 bahwa dalam jaringan ekonomi blok Soviet, "kami tidak diizinkan mengembangkan sebuah industri otomotif karena peranan ini diberikan kepada Cekoslovakia."
Prestasi ekonomi Kuba sebelum tahun 1990 harus disimak dalam konteks ini. Prestasi itu sangat tidak merata. Laju pertumbuhan yang 3% kurang pada tahun 1960an meningkat menjadi 7.5% antara 1970 and 1975 karena dibantu dengan suntikan modal Soviet. Kemudian merosot menjadi kira-kira 4% antara 1975 dan 1980. Ekonomi bergejolak secara tajam antara 1980 dan 1985 karena fluktuasi harga ekspor, kemudian agak mandeg: angka penghasilan nasional pada tahun 1989 tetap dibawah angka yang tercapai pada tahun 1985.
Kebijakan sosial menghasilkan buah yang cukup baik. Sistem kesehatan unggulan, seluruh masyarakat melek huruf, dan hubungan antar-ras agak baik juga. Distribusi kekayaan jauh lebih merata dibandingkan dengan, misalnya, negara tetangga Amerika Serikat.
Banyak pengamat kiri yang menyimak prestasi Kuba ini -- pertumbuhan ekonomi yang lumayan, dinas-dinas sosial yang bagus, hubungan antar-ras yang tidak serasis banyak negeri lain -- dan menarik kesimpulan bahwa revolusi Kuba sudah membangun sebuah masyarakat sosialis yang bagus. Bukankah Kuba sebelum revolusi itu merupakan negeri melarat?
Sebenarnya bukan. Kuba sebelum revolusi penghasilan ekonominya (per capita) kira-kira sederajat dengan Argentina, salah satu negeri yang paling maju di Amerika Selatan. Dinas kesehatan cukup bagus, 80% dari penduduk sudah melek huruf, dan rasisme (menurut Castro sendiri) tidak begitu berarti. Artinya: Kuba bukan neraka seperti digambarkan oleh golongan reaksioner di AS, tetapi juga bukan surga seperti yang dibayangkan banyak golongan kiri, melainkan prestasinya selama 30 tahun sedang saja.
Selain itu, "sosialisme" di Kuba kekurangan satu sifat yang terutama penting: demokrasi. Soeharto memerintah Indonesia selama 23 tahun tanpa harus menghadapi capres alternatif, dan itu kita anggap sebuah kediktatoran. Castro sudah berkuasa sejak tahun 1959 dan belum juga muncul capres alternatif. Soeharto membantah para pengkritiknya dengan menunjuk ke "demokrasi pancasila" yang dianggapnya lebih unggul dari demokrasi liberal ala barat, tapi kita tahu itu hanya akal-akalan saja. Castro dan para pendukungnya (termasuk banyak kaum kiri di barat) mengajukan argumentasi yang mirip: bahwa Kuba punya demokrasi khusus berdasarkan poder popular (kekuasaan kerakyatan).
Kenyataannya? Rezim Castro memang lebih toleran daripada bekas rezim Eropa Timur. Dan pada awalnya dia berkuasa melalui semacam "demokrasi langsung" dengan rally-rally besar-besaran. Tapi lama-lama dia membutuhkan sebuah sistem pemerintahan yang lebih formal. Untuk itu, kelompok gerilyawan terlalu kecil.
Mereka tidak memobilisasi kaum buruh dan rakyat pekerja lainnya untuk mengambil alih pemerintahan sendiri, melainkan mengundang Partai Komunis untuk bersatu dengan mereka. Partai Komunis itu sudah lama tidak revolusioner lagi, dan tidak begitu antusias dengan pemberontakan yang dijalankan si Castro. Tetapi mereka memang bermanfaat untuk menjadi sebuah birokrasi seperti di Rusia.
Proses politik di Kuba dikontrol secara ketat oleh rezim. Partai Komunis selalu memiliki mayoritas tunggal dalam semua lembaga politik. Mass media disensor. Para pengkritik dibredel bahkan dipenjarakan. Pengkritik ini memang banyak yang dari sayap kanan dan kontra-revolusioner, tapi tidak semua. Ahli sejarah sosialis Ariel Hidalgo telah menulis sebuah analisis Marxis yang membuktikan bahwa Cuba masih sebuah masyarakat berkelas. Dia berseru agar kelas buruh bangkit lagi untuk melakukan revolusi baru yang betul-betul sosialis. Kemudian Ariel Hidalgo dijebloskan di penjara.
Di kampung-kampung, masyarakat diawasi oleh para "Komite Pembela Revolusi" yang berperan seperti RW/RT di Indonesia. Keadaan kaum perempuan juga jauh dari memuaskan. Misalnya kepemimpinan Partai Komunis hampir semua laki-laki.
Walau rezim Castro mengaku sosialis, kaum buruh tidak menguasai proses produksi dan tidak boleh mogok kerja Serikat-serikat buruh peranannya mirip dengan SPSI. Pada tahun 1970 hal ini diakui oleh Mennaker:
"Secara teoretis, para pengelola mewakili kepentingan rakyat. Itu memang benar dan baik. Nah, boleh jadi si pengelola melukan kesalahan demi kesalahan … kaum buruh melihat itu dan merasa harus menerima nasib mereka saja. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa."
Kenapa situasi ini bisa terjadi, mengingat motivasi-motivasi progresif yang telah mengilhami kaum "berewok" yang merebut kekuasaan pada tahun 1959? Penindasan dan penghisapan terhadap kelas buruh merupakan akibat logis dari upaya membangun "sosialisme dalam satu negeri". Rezim mau mengembangkan ekonomi tanpa dibantu oleh revolusi-revolusi buruh di negeri-negeri lain. Untuk itu, harus mengeruk laba sebesar-besarnya buat di-investasi lagi dalam produksi. Artinya, rezim harus mengakumulasi kapital dari jerih payah kaum buruh. Para buruh diajak berkorban demi tujuan-tujuan revolusi, dan mula-mula mereka bersedia berkorban. Tetapi dalam jangka panjang, eksploitasi in hanya bisa berjalan terus dengan timbulnya struktur-struktur dominasi. Alhasil logika kapitalis muncul juga, walau tidak ada kelas pemilik modal swasta. Sebagai pengganti muncullah sebuah lapisan birokratis yang menjadi kelas penguasa baru. Lapisan ini semakin korup -- dan korupsi itu sulit diberantas karena tidak ada demokrasi.
Dalam krisis tahun 1990an, kecenderungan kapitalis ini menjadi lebih parah lagi. Setelah kehilangan tunjangan dari Uni Soviet dan Eropa Timur, Kuba harus membuka ekonominya dan ekonomi itu di- "dolarkan" dengan cepat. Jurang pemisah antara yang punya dolar dan yang tidak punya menjadi semakin besar.
Tentu saja kita tetap mesti membela Kuba melawan ancaman-ancaman imperialis. Boikot perdagangan Amerika Serikat terhadap Kuba harus kita lawan. Rakyat Kuba berhak menentukan nasib mereka sendiri, tanpa campur tangan dari luar. Namun rezim Castro tidak boleh diagungkan atau dijadikan sebuah model untuk revolusi di negeri-negeri lain.

Sang Surya yang tak pernah tenggelam:Mao Zedong dalam revolusi China

REVOLUSI di Cina pada tahun 1949 adalah sebuah peristiwa historis yang penting, terutama untuk gerakan radikal di dunia ketiga, termasuk Indonesia. Banyak partai Komunis dan kelompok radikal lainnya yang dilhami oleh teori-teori Mao. Dan "Revolusi Kebudayaan" tahun 1960-an juga menjadi inspirasi untuk gerakan-gerakan mahasiswa kiri sampai kini.
Sayangnya inspirasi ini sangat salah arah. Revolusi yang dipimpin Mao tidak membangun sebuah masyarakat sosialis di mana kaum pekerja sendiri yang menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi, sosial serta politik. Rezim Maois dikuasai oleh birokrasi otoriter, dan perekonomian RRC tidak luput dari logika kapitalis, walaupun perusahaan-perusahaan besar milik negara. Dan akhirnya, setelah Mao meninggal, RRC yang disebut "sosialis" itu mulai menjelma menjadi negara yang berekonomi pasar dan semakin mirip dengan negeri-negeri lain.
Itu bisa terjadi karena pada dasarnya, tujuan-tujuan Mao dan Partai Komunis Cina bukan untuk membangun sosialisme, melainkan untuk membangun ekonomi nasional yang kuat. Kaum buruh dan tani berkali-kali menjadi korban dari upaya ini.
*****
Riwayat Mao dimulai dengan hancurnya gerakan buruh revolusioner Cina. Antara tahun 1925 sampai dengan 1927, kota-kota di Cina mengalami sejumlah pemberontakan buruh yang dipimpin oleh Partai Komunis muda. Pemogokan massa meledak di Hong Kong dan laskar buruh yang bersenjata menguasai jalan-jalan kota Guangzhou. Perjuangan ini mulai di bawah payung gerakan nasionalis, tetapi kemudian berkembang lebih luas menjadi sebuah "revolusi permanen" yang semakin berhaluan sosialis. Namun waktu itu aliran komunis internasional (Komintern) sudah mulai didominasi oleh kebijakan Stalin, bahwa revolusi-revolusi di dunia ketiga harus melalui dua tahapan. Menurut Stalin, revolusi di Cina harus tetap dalam perbatasan "revolusi demokratik" saja. Makanya para komunis Cina disuruh untuk menyerahkan senjata-senjata mereka kepada golongan nasionalis. Mereka patuh; dan kemudian dibantai oleh golongan nasionalis tersebut.
Beberapa satuan komunis di pedesaan bisa bertahan hidup dan mereka berkumpul di pegunungan-pegunungan. Organisasi komunis di perkotaan hampir lenyap sama sekali. Mao menjadi pimpinan dan mengembangkan strategi baru dengan poros ke kelas petani. Pada awal tahun 1930-an para komunis berhasil mendirikan sejumlah "pangkalan merah" di beberapa daerah terpencil. Pemerintah-pemerintah setempat dicap "soviet-soviet", walaupun tidak mirip sama sekali dengan soviet (dewan buruh) demokratis yang muncul waktu revolusi Rusia. "Soviet-soviet" Mao merupakan sebuah kediktatoran militer oleh para tentara komunis, yang memang agak baik hati terhadap kaum tani. Namun ini jauh dari demokrasi revolusioner dalam artian Marxis.
Pangkalan itu diserang lima kali oleh pasukan pemerintah nasionalis, sampai akhirnya para komunis terpaksa harus mundur dari daerah-daerah ini, dengan menempuh perjalanan panjang Long March ke daerah Yenan.
Pada tahun 1931 Jepang menginvasi Cina, dan pemerintah nasionalis yang korup tidak mampu melawan, sehingga kota-kota utama diduduki Jepang. Seusai perjalanan Long March, Mao mennaikan semboyan perlawanan terhadap pendudukan itu. Begitu Jepang kalah dalam perang di kawasan Pasifik dan mulai menarik pasukan dari Cina, tentara komunis bisa mengalahkan tentara Jepang, kemudian merebut kota demi kota dari tangan kaum nasionalis. Pada tahun 1949, Mao dan Partai Komunis sudah menguasai negeri Cina. Kata Mao: "Cina telah bangkit!"
*****
Tetapi siapa yang bangkit? Bukan kelas buruh, dan bukan para penduduk urban pada umumnya. Seperti dipaparkan oleh John Molyneux dalam Mana Tradisi Marxis Yang Sejati?:
"Mao masih mengucapkan sentimen-sentimen tentang ‘peranan pemimpin kaum proletarian’ yang akan membimbing kelas petani. Tetapi sebetulnya, proletariat tidak berperan sama sekali dalam revolusi tahun 1949. Mao bahkan menulis pada tahun itu: ‘Diharap supaya semua buruh dan karyawan di semua bidang akan bekerja terus dan semua perusahaan akan berjalan seperti biasa.’ Maka ‘kepemimpinan proletarian’ hanya bisa berarti kepemimpinan Partai Komunis. Mengingat bahwa jumlah buruh yang ikut partai tersebut hanya sedikit saja, maka ‘pimpinan proletarian hanya berarti "ideologi proletarian", yang sebenarnya merupakan program Stalinis."
Revolusi tahun 1949 biasanya dimengerti sebagai sebuah revolusi petani. Namun bagaimana hubungannya antara kepemimpinan Partai Komunis dan kaum tani dalam sebuah perang gerilya? John Molyneux berargumentasi lebih lanjut:
"Tentara gerilya akan terdiri hampir 100 persen atas orang yang berlatarbelakang petani, namun hanya sebuah minoritias kecil dari kelas petani yang akan ikut berperang. Tentara Mao berjumlah beberapa juta – tetapi itu hanya persentase kecil dari 500 juta petani Cina. Hal ini tidak terhindarkan dalam perang gerilya yang menggunakan taktik 'tabrak lari', dengan pasukan yang selalu berpindah-pindah tempat…"
Sehingga tentara gerilya tidak betul-betul bergabung dengan massa petani dan mentalitasnya menjadi elitis:
"Mentalitas elitis ini sangat menyolok pula dalam perintah-perintah yang diberikan oleh Mao kepada pasukan gerilyawan dalam pergaulan mereka dengan kelas petani: ‘Sopan-santunlah! Tolong mereka sedapat mungkin. Semua benda yang dipinjam harus dikembalikan … Semua benda yang dibeli harus dibayar.’ Perintah-perintah ini membuktikan betapa timpangnya hubungan antara kaum prajurit dan kaum tani. Perintah-perintah tersebut memang sangat diperlukan, karena kondisi-kondisi obyektif senantiasa menggoda para prajurit untuk menghisap dan menindas kaum tani. Sedangkan situasi kelas buruh jauh berbeda. Sulit sekali dibayangkan sebuah organisasi buruh revolusioner yang harus memperingatkan kader-kadernya agar ‘jangan merampok kaum buruh di depan gerbang pabrik’."
Sebenarnya revolusi Maois adalah sebuah revolusi militer-birokratis yang berhaluan nasionalis bukan Marxis. Mao sendiri mengungkapkan pada bulan Juli 1949 bahwa "kebijakan kita kini adalah untuk mengatur kapitalisme, bukan untuk membinasakannya." Beberapa tahun kemudian, dihadapan tekanan imperialisme barat, Mao memang menjalankan perubahan-perubahan yang tampknya "sosialis" dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan besar. Tetapi para manajer lama sering menjadi manajer dalam sistem baru, sedangkan kaum buruh tidak ikut mengurus tempat-tempat kerja. Di pedesaan, kaum tani mengalami nasib yang mirip. Pada hakekatnya rezim ini lebih patut disebut kapitalis negara, karena rakyat pekerja tidak terlibat sama sekali dalam pemerintahan.
*****
Mula-mula pola pembangunan industri di Cina berlangsung menurut model klasik stalinistis yang diterapkan oleh Stalin sendiri pada tahun 1930-an di Uni Soviet. Namun hasil dari pola ini tidak memuaskan kaum penguasa. Walau ekonomi Cina bertumbah pesat, akan tetapi ekonomi-ekonomi barat sedang boom waktu itu, sehingga Cina semakin ketinggalan. Oleh karena itu, rezim menerapkan sebuah kebijakan yang nekad untuk mengejar ketinggalannya, dengan meningkatkan laju eksploitasi terhadap kaum buruh dan tani. Dalam "Lompatan Besar" tahun 1958-1960, rezim menentukan target-target produksi yang ekstrim, dan mengadakan "kampanye-kampanye massa" guna memaksa rakyat pekerja untuk membanting tulang dalam upaya mencapai target-target tersebut. Meskipun para buruh dan tani bekerja sampai kehabisan tenaga, hasilnya belum juga memadai; lantas para pimpinan perusahaan berbohong dan memalsukan data-data produksi.
Akibatnya parah sekali, terutama di pedesaan di mana kaum tani dipaksa untuk masuk komune-komune besar. Komune-komune tersebut digembar-gemborkan sebegai "langkah ke arah komunisme". Sebenarnya sangat mirip dengan "komunisme barak" otoriter yang dikutuk Marx. Hasil panen amat mengecewakan, sampai pada tahun 1961 terjadi paceklik di beberapa daerah dan pemberontakan bersenjata meledak di dua propinsi. Akhirnya pemerintah kalah. "Lompatan Besar" dihentikan, dan kaum tani diajak untuk menjalankan produksi swasta. Mao agak tersisih, dan orang lain menentukan kebijakan ekonomi. Hasil-hasil panen mulai naik lagi, tetapi jurang pemisah antara petani kaya dan petani miskin mulai meningkat pula.
Mao sendiri belum juga kapok. Pada tahun 1965 dia memobilisasi para pendukungnya di bawah panji "Revolusi Kebudayaan". Sekali lagi, "revolusi" tersebut didengungkan sebagai perjuangan "komunis". Sebenarnya Mao hanya ingin menghantam musuh-musuhnya dalam kelas penguasa. Di ibukota Beijing upaya itu berhasil tanpa kekisruhan. Namun di daerah-daerah Mao harus memicu konflik-konflik, dan "Garda Merah" (kelompok-kelompok Maois) turun ke jalan untuk meyerang pihak yang berwenang.
Suasana "revolusioner" memang berkembang di beberapa daerah, karena pihak yang berwenang itu sangat dibenci oleh rakyat. Garda Merah yang terdiri atas pelajar-pelajar menghina bahkan menganiaya para pejabat lokal. Namun kampanye ini dengan cepat sekali melampaui segala batasan. Guru-guru juga dianiaya, dan musium-musium dibakar karena dianggap kebarat-baratan dan dekaden. Kejadian-kejadian ini disertai oleh pengkultusan terhadap Mao sebagai "Sang Surya yang tidak pernah tenggelam". Seperti diungkapkan dalam sebuah perintah kepada para anggota angkatan laut: "Kita harus mematuhi instruksi-instruksi Ketua Mao, bahkan jika instruksi itu tidak kita mengerti."
*****
Akhirnya Mao semakin kehilangan kontrol atas kekisruhan yang disebabkan oleh Revolusi Kebudayaan itu. Para birokrat di daerah-daerah yang merasa terancam membalas dengan mengerahkan "Garda-Garda Merah" sendiri, sampai kelompok-kelompok pelajar saling berhantaman dimana-mana, dan kelas penguasa semakin khawatir bahwa sebuah perang sipil bisa meletus. Lebih parah lagi (di mata mereka), kelas buruh mulai bergerak secara indepen dengan sebuah gelombang aksi mogok. Kemudian muncul satu kelompok yang bersifat Marxis dalam artian aslinya. Kelompok Sheng Wu Lien mengembangkan sebuah analis kritis bahwa rezim Mao bukan sosialis. Dalam sebuah manifesto yang berjudul "Cina Mau Kemana?" mereka berargumentasi bahwa "kontradiksi-kontradiksi sosial yang telah menimbulkan Revolusi Kebudayaan adalah kontradiksi antara kekuasaan borjuasi birokratis baru dengan massa rakyat", sehingga "masyarakat membutuhkan perubahan yang lebih mendasar … [kita harus] menumbangkan borjuasi birokratis dengan menghapuskan aparatus negara lama, dan menjalankan revolusi sosial serta menerapkan tatanan sosial baru…"
Kaum penguasa meresponnya dengan represi kejam. Pemuda-pemudi dibuang ke daerah-daerah terpencil dalam jumlah besar untuk menghancurkan Garda Merah. Ratusan ribu rakyat dibantai di propinsi Guangxi dan beberapa tempat lainnya. Represi itu terjadi atas perintah Mao sendiri, tetapi tahap terakhir Revolusi Kebudayaan ini juga merupakan kekalahan besar buat Mao dan para Maois.
Setelah Mao meninggal, para pendukungnya (termasuk istrinya ) ditangkap dan dihukum. Dan kebijakan ekonomi pemerintah makin lama makin membuka jalan untuk mekanisme pasar, sehingga Cina mulai menempuh "jalan kapitalis" yang selalu dikhawatirkan Mao. Sekali lagi ekonomi pulih kembali; tetapi sekali lagi jurang pemisah antara si miskin dan si kaya menjadi semakin besar. Unsur-unsur sosial yang sama tetap menjadi kelas penguasa, terutama para pejabat partai, negara dan industri. Kelas buruh dan kelas petani terus menjadi kelas tertindas. Sebenarnya, kebijakan pro-pasar ini tidak berarti sebuah peralihan ke kapitalisme. Kapitalisme sudah ada di Cina dari dulu, dalam bentuk kapitalisme negara. Hanya itulah yang dibangun oleh Mao.

Wednesday, November 19, 2008

На удаљености од 180 км


Friday, October 24th, 2008

Dentuman itu bergemuruh,membuatku berlari kesudut,tanpa jelas bayang apa yang kukejar.irrasionalitas bertempur megah.

bersuaku dengan bilik putih,menatap penuh birahi pada lubang-lubang nista tersebut, menggelayutkan baju zirah diatas hijab.

Alam semesta menghening,berbisik melalui kegelapan.Hanya asap nikotin dan gemerisik air saling menyahut.

Semua tentang mu,semua tentang dia. tentang dia yang berada ratusan mil disana.dalam senyap semua melintas,mengisi udara dalam kehangatan.terinjeksi oleh absurditasan.menginfiltrasi semua benteng-benteng keangkuhan.Ku menatap dia.cintakan dia.aku tertunduk.fatamorgana terbaring indah diatasnya seraya menatap bayang-bayang kesemuan. karena hanya bayang-bayang dia yang dapat kumiliki.

Dan kurasakan itu.Jaring-jaring Setan telah menjeratmu,Semua mimpi-mimpi terhempas,menghujam keras menyentuh paras Bumi dan sekali lagi bayonet itu kembali menghujam.mengoyak-mengoyak semua.

Aku Pendosa.Aku terhina.bermain dengan semua bentuk kenistaan yang ilusif.Dya terlalu jauh.terlalu sempurna untuk kugapai.bintang-bintang telah mati,berjatuhan diatas kegelapan angkasa.Hanya berkas sinar-sinar masa lalu.Yang telah mati ribuan tahun lampau.cahaya kehangatan telah meredup.

Sintok dalam balutan rembulan yang meninggi.

Saat ini aku kembali ke Gua Plato-ku yg gelap,dan hanya akan melihat keindahan dunia dari bayang-bayang yg ada didalam gua yg pekat dan sesak..
Agar suatu saat,aku keluar dan berdiri menatap dunia dengan dada yg membusung..
membuat sang dunia bertekuk lutut dihadapanku (Yang akan kuremukkan dan kubentuk sesuai dengan keyakinan ku walau bertentangan dengan kekuatan massif)tapi sekarang aku akan menunduk.
Aku telah memiliki cahaya (walaupun masih sangat redup) yg memberi kehangatan dalam dingin dan gelap,yg meberi keteduhan saat terik penindasan menyengat..
Cahaya dari Gurun yg tandus,dimana dilahirkan seorang manusia yg paling mulia diantara yg lain..

Dan telah ku ikhlaskan kemunafikan berlari kearah temaramnya rembulan…

Saat sang Iblis telah menyeret bidadari ke dalam neraka melalui dogma2 yg halusinatif dan destruktif,Sang Bidadari berkata,"Sang Iblis tidak mengajakku tapi aku yang menginginkan ini(dalam pengaruh candu sang iblis) jadi jangan salahkan iblis karena aku tahu apa yg aku menginginkan untuk pergi ke neraka selagy aku masih muda"seraya memutuskan benang2 yg dulu dirajut dengan susah payah dengan pisau yg paling tajam di alam raya dan menusuk tepat ke jantung sang serigala merah.
dan sekarang sang bidadari telah menjelma menjadi setan di bawah rayuan dan indoktrinisasi sang iblis dan telah dinjeksi dengan racun agar merusak saraf otak bidadari di kala dya tertidur dan terombang-ambing.
entah sampai kapan pengaruh sang iblis akan hilang,dan sang bidadari kembali ke surga walau(mungkin) kesuciannya sudah ternodai.

Sintok menjelang malam
Podpolkovnik Devrian